Kesenian bantengan yang khas dengan tarian juga diiringi musik tradisional dan tak lupa dari kepercayaan jawa kuno. Permainan kesenian bantengan ini dimainkan oleh dua orang yang berperan sebagai kaki depan sekaligus pemegang kepala bantengan dan pengontrol tari bantengan serta kaki belakang yang juga berperan sebagai ekor bantengan. Pakaian yang digunakan bantengan biasanya terbuat dari kain hitam dan topeng yang berbentuk kepala banteng yang terbuat dari kayu serta tanduk asli banteng.
Kesenian ini tentu memiliki nilai sejarah panjang, dalam sejarahnya Kesenian Tradisional Bantengan telah lahir sejak jaman Kerajaan Singasari (situs Candi Jago – Tumpang Malang) sangat erat kaitannya dengan Pencak Silat. Walaupun pada masa itu bentuk kesenian bantengan belum seperti sekarang, yaitu berbentuk topeng kepala Bantengan yang menari. Gerakan tari yang dimainkan mengadopsi dari gerakan Kembangan Pencak Silat (Febrianto Wihanda Putra, 2011:2).
Baca Juga : Indonesia Dalam Pusaran Krisis Lingkungan dan Demokrasi
Kesenian tradisional ini berlanjut pada masa Pemerintah Kolonial Belanda terdapat seorang tokoh bernama Mbah Siran yang membuat topeng Bantengan dari tanduk banteng (Ruri Darma Desprianto, 2013:150) di Desa Claket Kecamaten Pacet Kabupaten Mojokerto. Pada masa Orde Lama Kesenian Tradisional Bantengan bermunculan di berbagai daerah pegunungan di Jawa Timur.
Nilai Kesenian Bantengan
Kesenian Tradisional Bantengan merupakan kesenian komunal yang melibatkan banyak orang dalam setiap pertunjukannya, seperti halnya sifat kehidupan banteng yang hidup berkelompok (koloni). Kebudayaan Bantengan mengakibatkan pemembentukan perilaku masyarakat yang menggelutinya untuk selalu hidup dalam keguyuban, gotong royong, dan menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan (Muhamad Nashichuddin, dkk, 2018:60).
Baca Juga : Gejolak Covid-19 Hingga Peraturan Yang Aneh
Dalam Kesenian Tradisional Bantengan memiliki fungsi, makna, maupun nilai. Dilihat dari fungsinya terdapat fungsi Eksternal maupun Internal. Fungsi Eksternal, yaitu fungsi kesenian Bantengan pada masyarakat awam atau pada umumnya sebagai bagian dari kesenian daerah atau tontonan kesenian kebudayaan daerah setempat. Sedangkan fungsi internal, yaitu fungsi kesenian Bantengan pada masyarakat tertentu, yang memang mengembangkan kesenian tersebut (Arista Yosi Antiar, 2015:22).
Makna Kesenian Bantengan
Makna dari Kesenian Tradisional Bantengan menurut Wiwik Istianah melalui karya tulis berjudul ‘Tari Bantengan dalam Upacara Tolak Balak di Kabupaten Mojokerto” tahun 2017 dapat ditinjau dari pagelaran, alat perlengkapan, dan sesaji. Ditinjau dari pagelaran akan terlihat sebuah pertarungan yang menggambarkan kekuatan Sang Pendekar yang memiliki ilmu yang tinggi dan dihormati oleh warga desa sebagai panutan mereka. Ditinjau dari alat perlengkapan merupakan simbol keharmonisan atau keselarasan hidup manusia di dunia. Ditinjau dari sesaji memiliki makna persaudaraan antara warga dan sebagai penghormatan bagi leluhur atau nenek moyang dan makanan bagi orang yang kesurupan.
Pementasan Kesenian Bantengan
Kesenian Tradisional Bantengan Jawa Timur dipentaskan dengan tujuan sakral, seperti halnya tolak balak, juga melestarikan seni budaya tradisional, dan menghormati leluhur nenek moyang. Untuk lokasi pendukung kesenian ini berada di daerah pegunungan Bromo Tengger Semeru, Arjuno-Welirang, Penanggungan (Pacet), Kawi, dan Raung-Argopuro(Ruri Darma Desprianto, 2013:154).
Baca Juga : Alessia Dalam Bayangan Tarian Gisella
Pementasan/pertunjukan diadakan pada saat-saat tertentu, misalnya pada saat memperingati Tahun Baru Islam, HUT Proklamasi Kemerdekaan RI, Bersih Desa/Selamatan Desa, diundang masyarakat yang memiliki hajat, dll. Dalam sebuah pementasan terdapat sebuah larangan bagi penonton, yaitu dilarang bersiul karena dengan bersiul penonton dianggap mengejek arwah roh yang memasuki tubuh pemain.
Baca Juga : Bahasa Malangan, Ciri Khas Orang Malang
Pementasan bantengan ada beberapa urutan, yang terdiri dari tiga tahap, dimana masing-masing derah memiliki istilah yang berbeda. Ketiga tahapan tersebut yang pertama adalah ritual nyuguh atau sandingan, kedua adalah pementasan meliputi karak’an dan pementasan sampai kesurupan atau ndadi, dan yang ketiga adalah nyuwuk dengan tujuan memulangkan arwah leluhur ketempat asalnya. Untuk melaksanakan ketiga tahapan tersebut harus melengkapi berbagai kelengkapan/persyaratan dalam sebuah pementasan.
Kelengkapannya meliputi kelengkapan busana, iringan musik, dan sesaji. Kelengkapan busana meliputi busana Pencak Silat, busana Harimau, busana Bantengan, dan busana Pendekar dan pecut. Iringan musik terdiri dari kendang, jidor, ketipung, peking, saron, demung, gong, kempul, kenong, dan tidak lupa seorang Sinden lengkap dengan panjak. Kelengkapan sesaji terdiri dari kelapa, pisang, ketan, nasi kabuli, rokok, susur, bedak, telur ayam kampung, kembang boreh, kaca, dan uang.
Baca Juga : Perampasan Hak Dan Harga Diri Perempuan
Menurut masyarakat Jawa, sifat-sifat roh sama seperti manusia dengan satu pengecualian, yaitu tidak mempunyai badan/wadag. Sebaliknya roh itu dianggap sama-sama memiliki pemikiran, perasaan, dan nafsu seperti manusia. (Stange, P, 2008 hal 44). Setiap desa memiliki pemimpin (lurah) dan pada saat yang sama juga roh penjaga dan nenek moyang pendiri (dahnyang). Di desa-desa, kebiasaan rutin slametan merupakan suatu struktur yang secara eksplisit dimaksudkan untuk merukunkan hubungan dengan alam roh.