Judul Buku : Orang Maiyah
Penulis : Emha Ainun Najib Tahun Terbit : 2015
Penerbit : Bentang Pustaka
Kota Terbit : Yogyakarta
Halaman : 108 Halaman
ISBN : 978-602-29-1126-5
Sebuah buku karangan Emha Ainun Najib, biasa dipanggil Cak Nun, buku yang cak nun tulis tulis judulnya Orang Maiyah, ditulis berdasarkan orisinalitas pengalaman orang-orang yang terlibat dalam pengajian rutin Emha Ainun Nadjib di beberapa kota di Jawa yang –menurut Emha- ditulis kembali oleh Emha sebagai pengatur arus lalu lintas keilmuwan agar ”nyambung”.
Masih menurut Emha, dirinya tidak menambah atau mengurangi satu pun titik atau koma dalam naskah yang ditulis oleh Orang Maiyah. Bahkan, Emha secara terbuka mengungkapkan kekagumannya kepada Orang Maiyah tersebut karena dalam menulis, mereka sama sekali tidak berada dalam kesadaran eksistensi sebagai seorang yang ingin mempublikasikan karyanya, apalagi kesadaran sebagai seorang penulis profesional. Di luar itu, buku ini memuat spektrum keilmuwan yang sangat luas. Mulai dari pengalaman fisik hingga pengalaman rohani yang menakjubkan dari para penulisnya. Dan semua pengalaman itu bermuara pada satu hal: hubungan sangat produktif antara manusia yang hidup di dunia dengan Tuhannya.
Ada beberapa hal yang pantas dicatat dari buku kecil ini dalam kaitan dengan isinya dan posisi Emha dalam memberikan kerangka terhadap buku ini.
Pertama adalah bagaimana Emha memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada keikhlasan tanpa pamrih yang ditunjukkan oleh orang-orang yang tulisannya dijadikan sumber utama buku ini. Seperti surat Agus Mustofa yang menakjubkan sebagai pembuka buku ini, ”Semuanya akan menjadi jelas saat kita bunuh diri, keakuan berganti tahta Rob pemilik hak apa yang di langit dan di bumi. Emha tidak ada, Mustofa tidak ada, sahabat-sahabat tidak ada. Kita tidak ada. Yang ada adalah Allah yang menguasai tujuh struktur langit”.
Baca Juga :
Midah, Antara Ketabahan dan Kehidupan
Seperti sudah jamak diketahui, salah satu spektrum Emha dalam kosmos kehidupan adalah pilihannya untuk menetap di wilayah tasawuf. Bahkan, sejak awal kepenyairannya di akhir tahun 60an awal 70an, ia sudah dengan sangat tegas memilih wilayah itu dengan ”Sajak Sepanjang Jalan”nya. Maka, tidak heran jika ”pembunuhan eksistensi diri” menjadi sangat bernilai tinggi dalam kazanah kehidupan Emha. Tentu, atas kesesuaiannya dengan hukum-hukum tasawuf yang dianut Emha yang ”meladeni dunia seperti halnya seorang kakek meladeni cucunya”. Dan dia -sebagai pengatur lalu lintas dalam buku ini-menempatkan kisah-kisah orang-orang maiyah dalam kerangka tersebut.
Kedua, buku ini mengisahkan pengalaman orang yang betul-betul terjadi, hidup pada masa ini dan waktu ini. Ia tidak merupakan sebuah karya sastra, atau karangan atau sengaja ditulis dengan kesadaran imajinasi. Buku Orang Maiyah lebih berupa surat pengakuan yang diterima oleh Emha dari orang-orang yang aktif dalam pengajian rutin yang ia kelola bersama Kiai Kanjeng. Karena bentuk aslinya adalah surat, maka suasana pribadi, hangat dan akrab sangat kuat terkesan dari buku ini. Lihat saja bagaimana indahnya tatkala Fatkhur Nuriyanto mengisahkan bagaimana pada suatu sore, usai sholat maghrib ia bersholawat dan mengucap salam kepada Muhammad Rosulullah. Mendadak, ia merasa Rosulullah telah hadir, berdiri di hadapannya. Ia pun tergopoh-gopoh segera bersujud, menciumi kaki Muhammad sembari bercucuran airmata.
Ini kisah yang dahsyat, namun sangat rawan. Pengalaman Fatkhur sangat mudah untuk diserang sebagai ilusi, halusinasi atau gendheng. Atau kelompok lain bisa menudingnya sebagai tidak rasional, tidak masuk akal, mengada-ada dan seterusnya. Sebab, pengalaman Fatkhur adalah pengalaman ”manusia seberang bumi” warga negara kerajaan syukur kepada Allah dan terima kasih kepada Muhammad UtusanNya yang memperoleh kehormatan disapa dan ditemui oleh Rosulullah Muhammad. Bagaimana Utusan Allah yang telah meninggal 14 abad lalu bisa menemui salah satu ummatnya jauh dari tanah haram. Hal ini bisa memantik perdebatan dan tudingan. Seperti tatkala Galileo menyatakan bahwa Matahari adalah pusat tatasurya, bukan bumi.
Namun, rupanya Emha sangat menyadari potensi ini sehingga jauh di awal buku, ia telah memagari potensi serangan itu dengan mengutip pernyataan Totok Rahardjo –orang Insist- yang menegaskan bahwa orang maiyah bukan pengarang yang mengolah imajinasi. Sebab, karangan tidak dituntut memiliki kaitan dengan orisinilitas pengalaman hidup. Sementara orang Maiyah menuliskan pengalaman dalam kehidupannya.
Ketiga, buku ini –kendati amat tipis dan tidak mengikuti struktur keilmuwan modern yang memadai- namun ia pantas disebut sebagai masterpiece Emha Ainun Nadjib. Emha telah menulis selama puluhan tahun, kendati ia juga bukan seorang penulis. Sejak ia cangkruk’an di Malioboro sebagai cantrik Umbu Landu Paranggi tahun 1969 hingga hari ini, hampir seluruh kehidupannya ia dihabiskan untuk menjalani proses kreatif. Puluhan buku yang ditulisnya serta ribuan artikel, essay dan sajaknya yang beredar di nusantara, puncaknya adalah buku yang amat kecil ini. Buku ini, membuktikan bahwa karya Emha tidak berhenti sebagai teks belaka. Tapi, hidup pada zaman dan generasinya. Karya-karya Emha mulai dari artikel pertama hingga yang belum ditulis, telah selesai dalam buku ini. ”Orang Maiyah” menahbiskan bahwa gagasan Emha tidak hanya berhenti sebagai buku yang dibaca, dipikirkan dan atau dijadikan referensi hidup oleh para pembacanya. Namun, dalam tubuh orang-orang Maiyah itulah buku karya Emha yang sebenarnya. Tulisan Emha disusun oleh huruf-huruf yang berwujud manusia.
Tidak banyak karya yang mampu mencapai titik aplikatif tersebut. Sedahsyat-dahsyatnya tetralogi Pulau Buru Pramudya Ananta Toer, ia berhenti sebagai karangan. Bisa jadi, tetralogi itu turut membangun software nilai dalam kehidupan banyak orang Indonesia, namun toh belum sanggup menerjemahkan nilai sebagai rumus kehidupan secara utuh. Tengok bagaimana Fatkhur- dalam buku tersebut- mampu menerjemahkan nilai Grand Master perilaku Muhammad Rosulullah dan puasa –yang menurut pengakuannya hanya diperoleh melalui Maiyah- sehingga lebih memilih memutuskan pacarnya yang sangat ”pengen disayang” daripada bernafsu memeluknya.
Di luar tiga hal tersebut, dalam buku ini pembaca bisa menemui hal sangat implisit yang butuh konsentrasi, kepekaan dan kerendahhatian untuk terbuka terhadap segala fenomena ilmu yang disuguhkan Allah karena ungkapannya yang sangat subtil dan seperti komunikasi makhluk ”seberang bumi”. Pintu ilmu seberang bumi tersebut dibuka oleh surat Ahmad Mustofa yang sangat anggun. Nyaris keseluruhan kalimat dalam isi surat tersebut membutuhkan penjelasan berjilid-jilid buku. Ahmad Mustofa seperti melipat langit dan bumi, melipat masa lalu dan masa depan dalam surat pendek tersebut.
Disusul pula oleh surat Isman yang luar biasa indahnya sebagai pintu ilmu haqqullah. Isman mengantarkan pembaca pada model hubungan Tuhan dan hambaNya. ” Saya sagat bersyukur bahwa trademarknya Allah adalah Rahman dan Rahim. Bayangkan kalau trademarknya Maha Sewenang-wenang, apa jadinya. Ia juga memberi keluasan makna pada keikhlasan dan ridho.
Berulangkali, saya harus bercucuran airmata tatkala membaca buku ini.
Inilah beberapa nilai kuat dari ”Orang Maiyah”. Sementara yang jauh lebih banyak lagi masih tersimpan di larik-larik buku ini menunggu anda kuak rahasianya.